Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makna Rahina Buda Cemeng Klawu atau Rambut Sedana

Rahina Buda Cemeng Klawu atau Buda Wage Klawu merupakan hari pemujaan terhadap Bhatara Rambut Sedana atau juga dikenal sebagai Dewi Laksmi, yang melimpahkan kemakmuran dan kesejahteraan. Upacara Buda Cemeng Klawu ini jatuh pada hari Rabu Wage wuku Klawu kalender Saka-Bali, yang diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali oleh masyarakat Hindu di Bali.

Makna Rahina Buda Cemeng Klawu atau Rambut Sedana

Menurut ajaran Hindu, diyakini Ida Betari Rambut Sedana / Dewi Laksmi sedang melaksanakan yoga dan di percaya juga pada hari ini tidak diperbolehkan menggunakan uang untuk hal-hal yang sifatnya tidak kembali berupa wujud barang, misalnya membayar hutang atau menabung karena dipercaya uang/kekayaan tersebut nantinya tidak dapat kembali selamanya dan menghilang oleh sifat tamak/serakah kita sebagai manusia.

Upacara Buda Cemeng Klawu ini dilakukan oleh seluruh umat Hindu di Bali, terutama mereka yang membuka usaha perdagangan, misalnya pedagang di pasar, pemilik warung, restaurant, jasa keuangan, bengkel, bahkan sampai ke perusahaan-perusahaan yang mengalirkan dana secara cepat dalam menjalankan perusahaan. Biasanya pada setiap tempat yang digunakan untuk menyimpan uang, diberikan sesajen/banten khusus untuk menghormati Ida Betara Sedana atau Dewi Laksmi sebagai wujud ungkapan rasa terima kasih atas pemberian-Nya.

Filosofi dalam Buda Cemeng Klawu
Di dalam kekawin Nitisastra IV.7, dinyatakan sebagai berikut:
Singgih yan tekaning yuganta kali tan hana lewiha sakeng mahadhana. Tan waktan guna sura pandita widagdha pada mengayap ring dhaneswara.

"Kalau zaman Kali sudah datang, tidak ada yang lebih bernilai daripada uang. Sudah susah dikatakan para ilmuwan, pemberani, orang suci, maupun orang yang kuat, semuanya pelayan orang kaya."
Dari sumber Susastra Hindu tersebut diatas, dapat dipahami bahwa uang itu pada hakikatnya adalah sarana dan bukan tujuan hidup, jadi tergantung cara manusia menggunakan sarana tersebut. Bila uang tersebut di dapat dan digunakan sesuai berdasarkan konsep ketuhanan, maka uang itu amat berguna mengantarkan manusia mendapatkan hidup bahagia lahir batin, namun sebaliknya jika uang tersebut di anggap sebagai tujuan yang dianggap paling bernilai, maka uang itu akan dapat membawa kesengsaraan. Oleh karena itu, tempatkanlah uang tersebut sebagai alat mewujudkan Dharma/kebenaran/kebaikan.

Sarana Buda Cemeng Klawu

Tidak ada yang khusus pada rahina Buda Cemeng Klawu, biasanya sarana yang digunakan mulai dari canang sari, banten pejati, maupun bebantenan tumpeng 7 disesuaikan dengan desa, kala, patra dan desa mawacara di masing-masing pakraman dan kemampuan umat masing-masing. Sebagai salah satu referensi, Wayan Budha Gautama, dalam buku Rerahinan Hari Raya Umat Hindu, menyebutkan jenis widi-widana yang mesti dipersembahkan pada Buda Cemeng Kelawu, yang meliputi suci, daksina, peras, penek, ajuman, sodaan putih kuning. Namun, persembahan ini masih bisa berubah lagi sesuai loka dresta masing-masing daerah.

Tempat menghaturkan persembahan widi-widana tersebut di antaranya parahyangan antara lain Pura Melanting atau pura-pura lainnya yang memang memiliki arca lingga Ida Batara Rambut Sadana. Begitu juga di sanggah/merajan serta tempat penyimpanan uang (brankas) dan tempat penyimpanan beras.

Pantangan Bertransaksi

Yang menarik, ada keyakinan di kalangan sebagian orang Bali mengenai pantangan untuk bertransaksi menggunakan uang dan sejenisnya saat Buda Cemeng Kelawu. Di sejumlah daerah juga disebutkan saat Buda Cemeng Kelawu dipantangkan untuk membayar atau menagih utang-piutang atau pun memberikan/menyedekahkan beras kepada orang lain. Bagi masyarakat modern, pantangan semacam ini tentu saja sulit untuk diterima. Dinamika perekonomian masyarakat yang begitu tinggi membuat tidak mungkin untuk menghentikan transaksi menggunakan uang dalam sehari. Menghentikan transaksi berarti juga menghentikan kegiatan ekonomi. Berhentinya kegiatan ekonomi berarti kerugian.

Namun, pantangan bertransaksi menggunakan uang dan alat pembayaran sejenisnya di hari Buda Cemeng Kelawu mesti dimaknai sebagai sebuah kearifan lokal Bali dalam memandang arti dan makna uang. Orang Bali menyadari uang merupakan sesuatu yang telah menempati posisi sangat penting dalam kehidupan masyarakat saat ini. Terlebih lagi di masa serba paradoks kini. Seperti disuratkan dalam Nitisastra, di zaman Kaliyuga yang menang adalah ia yang memiliki uang. Dengan uang, orang kini bisa melakukan apa saja untuk memuaskan keinginannya. Mulai dari membeli mobil terbaru, rumah mewah hingga membeli jabatan tinggi.

Karena begitu berkuasanya uang di zaman Kaliyuga, orang Bali senantiasa diingatkan untuk bisa mengendalikan dirinya dalam memandang, memaknai, memperlakukan serta mencari uang. Saat Buda Cemeng Kelawu, orang Bali disadarkan betapa uang bukanlah segalanya, uang bukanlah dewa. Dengan membiarkan uang diam, tidak dibayarkan dan tidak beredar, orang Bali diingatkan tentang hakikat uang. Yang berkuasa atas segala dunia ini adalah Yang Maha Agung, Yang Mahasumber, Yang Maha Pencipta. Orang Bali juga diingatkan untuk mengelola uangnya secara arif dan proporsional.

Dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan, harta kekayaan, termasuk uang yang didapat hendaknya dibagi tiga. Sepertiga buat memenuhi keperluan hidup (kama), sepertiga buat diinvestasikan atau diputar lagi (arta) sehingga menjadi terus bertambah. Sisanya sepertiga lagi mestilah didermakan, di-yadnya-kan (dharma). Dharma ini mesti diterjemahkan dalam arti yang lebih luas. Tidak hanya untuk kepentingan upacara agama, juga untuk membantu saudara-saudara kita yang kurang mampu, membiayai pendidikan anak-anak miskin.
Sumber: Balisaja, Inputbali

Kriana
Kriana Saya hanya orang yang menyempatkan diri untuk menulis tentang apa saja ketika saya sempat menulis, untuk diri sendiri maupun informasi untuk orang lain

Posting Komentar untuk "Makna Rahina Buda Cemeng Klawu atau Rambut Sedana"