Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Karakter Menonjol Orang Asli Buleleng

Tulisan ini saya muat ulang dari tulisan yang sudah pernah dipublikasikan sebelumnya, namun kali ini saya hanya mengambil beberapa bagian saja terutama yang berkaitan dengan daerah asal saya yakni Kabupaten Buleleng. Kali ini saya ingin mencoba menambahkan beberapa hal yang masih dirasa kurang dari tulisan sebelumnya. Buleleng memang terkenal dengan gumi yang panas, orangnya kasar-kasar tapi itu hanya dari segi bahasa saja. Selain itu kita akan simak beberapa karakter paling menonjol dari Orang asli Buleleng, setidaknya ada beberapa yang paling menonjol yakni: egaliter, skeptik, open-minded dan hangat.

Egaliter dalam artian, semua orang dipandang dan diperlakukan sama/setara, tidak ada istilah kelas. Dalam percakapan sehari-hari misalnya, mereka lebih banyak menggunakan Bahasa Bali lumrah bahkan cenderung kasar (kadang bercampur Bahasa Indonesia) dibandingkan tata bahasa Bali halus terlepas dari siapapun lawan bicaranya.

Cai, awake, nani, Ake, kola, siga, cicing, pirate, ndaskleng dst, adalah sebutan “kamu” dan “aku” yang lumrah digunakan sehari-hari. Bagi mereka ini tidak kasar, tapi “akrab” katanya. Ada juga sebutan “ana” (saya) dan “ente” (anda) lagi satu yang paling tidak masuk akal adalah orang lain atau temannya di bilang anjing contoh: eh cicing, kije dogen nani, adikan maro ngenah? (hai kamu, kemana saja kamu, kok baru kelihatan?) yang hanya ada dan digunakan oleh orang Buleleng. Dan itulah ciri yang paling menonjol dari segi bahasa yang digunakan istilahnya banyak orang bilang Kasar di munyi tapi melah di keneh (bicaranya kasar namun hatinya baik)


Jika anda ingin tahu dimana istilah ningrat dan non-ningrat paling banyak ditentang di Bali, jawabannya: di Buleleng. Ketika bertemu orang ningrat yang selalu berbahasa Bali halus, entah karena memang ingin menunjukkan keningratannya atau karena kebiasaan semata, akan diledek dengan “Tyang sampun ngajeng, I ratu sampun ngeleklek?” (saya sudah makan, apakah tuan sudah makan?) tentu saja sambil tertawa sinis.

Ini memang fakta apa lagi masih dalam lingkup yang bisa dibilang majemuk, misalnya sekolah. Tapi itu kalau di luar Griya atau rumah orang yang berkasta, namun ketika masuk ke rumah orang Ninggrat, tentu orang Buleleng akan menghormati keninggratan orang tersebut dengan memakai bahasa Bali halus saat berbicara dengan orang tersebut dan ini bukan munafik tetapi lebih pada saling menghormati.

Masih terkait dengan karakter egaliternya. Dalam menilai sesuatu yang sifatnya tidak terlalu prinsipiil, orang Buleleng lebih banyak menggunakan ‘common-sense’ dibandingkan pakem-pakem tertentu. Bagi mereka, sesuatu yang “masuk-akal” jauh lebih penting dibandingkan aspek lain, adat dan tradisi misalnya.

Mereka tidak suka hal-hal ribet di Buleleng saya akui masalah adat memang tidak terlalu mengikat, aturan adat di sini begitu fleksibel dan mungkin sudah menyesuaikan dengan keadaan zaman yang sudah semakin maju. Misalnya warga Buleleng banyak merantau ke luar daerah dan ketika mereka sudah berkeluarga dan sudah harus kena aturan adat maka mereka bisa membayar "Pengampel" dan selama ini semua berjalan lancar dan hampir tidak pernah terjadi benturan antara hak dan kewajiban tentang adat di Buleleng.

Bukan hanya terbuka dalam menyampaikan sesuatu. Orang Buleleng juga sangat terbuka terhadap nilai-nilai, konsep-konsep dan ide-ide baru, baik yang datangnya dari dalam maupun dari luar. Bisa dibilang tidak ada yang “tenget” (=tabu) bagi mereka, asal masuk akal. Misalnya orang-orang bertattoo atau berambut pirang atau mengenakan kalung rantai ala Harley Davidson’s riders, bukan berarti mereka mantan preman atau anggota ormas tertentu. Itu hal biasa saja, bukan sesuatu yang luar biasa yang harus di kotak-kotakan dalam penerimaan di masyarakat.

Mungkin karakter egaliter menonjol inilah yang membuat Orang Buleleng cenderung skeptik istilahnya “meboya” terhadap banyak hal terkait atribut. Mereka meboya terhadap hal-hal yang berbau feodal. Mereka meboya terhadap hal-hal yang ditabukan. Mereka meboya terhadap orang yang memposisikan dirinya lebih, entah entah itu dalam hal soroh/klan, strata ekonomi, strata pendidikan dan atribut-atribut sejenisnya. Terhadap perilaku yang dinilai sengaja memamerkan kelebihan atribut, Orang Buleleng katakan “Ake sing taen ngon!” (aku tidak pernah silau!)

Dalam pergaulan Orang Buleleng tergolong hangat dan ‘easy going’. Suka berkelakar, ceplas-ceplos dan tidak mudah tersinggung untuk hal-hal yang sifatnya tidak prinsipiil. Jika anda sedang bepergian sendiri dan butuh teman ngobrol, menemukan orang Buleleng mungkin suatu keberuntungan. Kombinasi karakter menonjol inilah yang membuat orang Buleleng relative mudah bergaul dengan orang atau kalangan mana pun, termasuk dari etnis, ras, bangsa dan agama mana pun. Ingin gaul dengan Orang Bali tanpa mengkhawatirkan batasan-batasan dan aturan ini itu selain common-sense? Coba bergaul dengan Orang Buleleng.

Pernah dengar stigma “playboy/playgirl” disematkan pada Orang Buleleng. Jika “playboy/playgirl” dalam hal ini maksudnya suka mempermainkan perasaan wanita/pria, saya pikir, relative. Maksud saya, seperti tindak kriminalitas terjadi bukan karena niat pelaku saja, tetapi juga tersedianya kesempatan. Dalam artian, bisa terjadi pada siapa saja (tidak pada orang Buleleng semata), hanya soal niat dan kesempatan saja.

Tetapi, jika “playboy/playgirl” yang dimaksud adalah mudah “move-on” (baca: berganti pacar) bisa jadi, IYA, jika merujuk karakter dasar Orang Buleleng yang lebih mengutamakan aspek “make-sense” ketimbang hal-hal lainnya. Ketika timbul ketidakcocokan di tengah jalan misalnya, bisa jadi Orang Buleleng lebih memilih untuk mengakhiri ketimbang mempertahankan hubungan yang pada akhirnya hanya akan saling menyakiti saja.

Tapi bukan berarti tidak ada down-side, dalam kadar berlebih, kombinasi karakter menonjol Orang Buleleng ini bisa jadi “menerabas batas” (crossing the lines) yang tentu saja tidak menarik bagi orang luar dan tidak sehat bagi Orang Buleleng sendiri. Misalnya, kesetaraan/ekualitas dalam pergaulan sosial, baik. Tetapi “meboya” terhadap kebiasaan berbahasa halus, samasekali tidak perlu.

Kesetaraan tidak harus dicapai dengan cara menyamaratakan kebiasaan berbahasa kasar. Kesetaraan juga bisa dicapai dengan cara menyamaratakan kebiasaan berbahasa halus bagi semua kalangan. “Maaf, saya Orang Buleleng, tidak terbiasa berbahasa halus,” fine. Pertanyaannya: Jika kebiasaan berbahasa kasar sendiri minta dimaklumi oleh orang lain, mengapa kebiasaan orang lain berbahasa halus tidak bisa dimaklumi bahkan wajib dicibir?

Mengubah pakem kesenian Bondres lama menjadi Bondres kreatif, ala Dwi Mekar, bagus. Tetapi mengubah pakem “Tari Pergaulan Joged” menjadi “Pertunjukan Joged Buang/Porno” tanpa memandang usia penonton, samasekali tidak bagus. Nonton Bola bareng, di Bale Bengong atau Bale Banjar, tak ada salahnya. Tetapi nonton film biru bareng sama tetangga, kakek-nenek dan anak-anak, ini tentu tidak benar.

Terbuka terhadap hal-hal baru yang bermanfaat, seperti bekerja di kapal pesiar yang menulari generasi muda Buleleng beberapa tahun belakangan, sehat. Sayangnya ada juga pemuda Buleleng yang terbuka terhadap gaya hidup tak sehat seperti nongkrong di café remang-remang atau mengkonsumsi obat terlarang. Pertumbuhan café remang-remang dan pengguna narkotika di Buleleng, belakangan, sudah merambah sampai ke desa dan banjar-banjar terpencil. Sudah sangat mengkhawatirkan.

Skeptik terhadap hal-hal yang berpotensi merugikan (seperti tindak penipuan), perlu. Tetapi skeptik terhadap hal-hal positive (seperti kesuksesan/kecerdasan/kesantunan orang lain) yang bisa dijadikan inspirasi untuk memajukan diri sendiri, menurut saya, kontra-produktif.

Kelakar dan basa-basi sangat berguna untuk memecah kebekuan komunikasi atau obrolan ringan yang berkembang menjadi terlalu serius. Akan tetapi situasi seperti ini okasional sifatnya, jarang terjadi. Terutama di lingkungan kerja/bisnis, kelakar dan basa-basi lebih sering tidak sesuai ketimbang sesuai. Sikap hangat dan mudah akrab, dalam batasan wajar, bagus. Namun dalam kadar berlebih bisa dipersepsikan sebagai sikap “SKSD” atau bahkan “murahan” sekali lagi, dalam kadar berlebih. popbali.com
Kriana
Kriana Saya hanya orang yang menyempatkan diri untuk menulis tentang apa saja ketika saya sempat menulis, untuk diri sendiri maupun informasi untuk orang lain

6 komentar untuk "Karakter Menonjol Orang Asli Buleleng"

  1. Mekejang ane "lebihan" cenderung jele, apalagi lebihan munyi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Men yen lebihan pipis engken to bos? luung apo jele? hehehehe

      Hapus
  2. Bagi saya tidak masalah orang itu asalnya darimanapun, yang penting tetap memiliki sikap saling menghargai, walaupun dari kebiasaan, adat, atau budaya yang berbeda. Toh dari awal kita diciptakan Tuhan juga berbeda2 adanya. Perbedaan ini yang harusnya menjadi upaya kita untuk slalu menghargai satu sama lain. Yang penting kita tahu batas2 untuk mengomentari, untuk tidak saling menyakiti :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah seharusnya seperti itu, dalam pergaulan sudah seharusnya tidak memandang latar belakang, asalkan kita harus bisa saling menghargai dan menghormati satu sama lain, maka Bhineka tunggal ika ini akan tetap terjaga dengan baik. :)

      Hapus
  3. im yours versy lovina.. keren..

    BalasHapus
  4. Sebelumnya saya minta maaaf jika ada kata2 yg kurang berkenan.saya mau bertanya kenapa kalo ngobrol kayak di tegalan,contoh : ad 3 kamar kos
    Kamar no 1 dan 3 orang buleleng dan kamar no 2 orang luar.dan kenapa kamar no 1 dan 3 kalo ngobrol diem di kamar masing2 dan tidak datang di salah 1 kamar kalo ngobrol,kenapa harus teriak2 kalo ngobrol???ini pengalaman pribadi saya,udah 2x ganti kos dan ketemu orang seperti itu

    BalasHapus

Silakan berikan komentar Anda dengan baik, silakan gunakan Bahasa Indonesia dengan baik supaya mudah dibaca oleh pengunjung lain, Jangan ada Spam dan link aktif. Terimakasih