Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hari Raya Galungan dan Kuningan

Om Swastyastu, semua umat Hindu pasti sudah tahu tentang hari raya Galungan dan Kuningan karena setiap enam bulan sekali kita umat Hindu merayakannya. Galungan dan Kuningan merupakan hari raya yang datangnya berdasarkan sasih sehingga dalam setahun kita bisa merayakan Galungan dan Kuningan sebanyak dua kali. Mungkin beberapa orang sudah tahu bagaimana sebenarnya sejarah tentang hari raya Galungan dan Kuningan ini. Dalam kesempatan ini saya akan mencoba menulis ulang tentang sejarah hari raya Galungan yang saya kutip dari berbagai sumber. Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya menang, Galungan juga sama artinya dengan Dungulan yang juga berarti menang, oleh sebab itu ada keterkaitan nama wuku dimana kalau di Jawa Wuku kesebelas namanya Galungam sedangkan di Bali Wuku kesebelas namanya Dungulan, namanya berbeda tetapi artinya sama. Seperti halnya dalam panca wara di Jawa ada Legi sedangkan di Bali disebut Umanis yang artinya sama yaitu manis.


Sejarah hari raya Galungan berasal dari kepercayaan umat Hindu di Bali. Ada seorang asura bernama Mayadenawa dia adalah seorang Bakta Siwa yang sangat tekun, dengan memuja Siva dia memohon untuk bisa berubah wujud. Karena ketekunan dan ketulusannya, akhirnya Siva berkenan muncul dan mengabulkan keinginan Mayadenawa. Kemudian Mayadenawa menjadi sangat sakti dan mampu melakukan perubahan wujud hingga seribu kali perubahan. Dengan memiliki kekuatan tersebut bukannya dipakai untuk kebaikkan, dia malah menjadi sombong dan menguasai daerah Bali dan sekitarnya dengan sewenang-wenang dan saat itu tidak ada yang mampu mengalahkannya.

Melihat kesewenang-wenangan Mayadenawa saat itu, akhirnya Dewa Indra turun ke bumi untuk membinasakan Mayadenawa dan akhirnya keduanya melakukan pertarungan sengit. Pertarungan begitu berimbang sehingga Dewa Indra harus mengeluarkan Bajra untuk membinasakan Mayadenawa. Singkat cerita setelah pertarurangan itu dan dengan senjata Bajra akhirnya Dewa Indra berhasil mengalahkan dan sampai Mayadenawa gugur dalam pertarungan itu. Kemengangan Dewa Indra melawan Mayadenawa inilah yang dikenal sebagai hari raya Galungan, dimana Dewa Indran melambangkan dharma atau kebenaran dan Mayadenawa melambangkan Adharma atau kejahatan dan sampai saat ini Galungan dikenal sebagai hari untuk merayakan kemenangan Dharma terhadap Adharma.

Waktu pelaksanaan Galungan untuk pertama kali memang susah untuk dipastikan. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, hari raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) ditahun 882 Masehi atau tahun Saka 804. Dalam lontar tersebut bertuliskanm "Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasir kacatur, tanggal 15, isaka 804, bangun indria Buwana ikang Bali rajya." Yang artinya: Perayaan (Upacara) hari raya Galungan itu pertama-tama adalah pada haru Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun saka 804, keadaan pulau Bali bagaiakan Indra Loka. Berdasarkan isi lontar tersebut, sampai saat ini umat Hindu merayakan hari raya Galungan setiap 210 hari yaitu ada hari Rabu atau Budha Kliwon wuku Dungulan sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Nah itulah sejarah singkat tentang Hari Raya Galungan.

Ada juga tradisi unik ketika akan merayakan Galungan ini yaitu Mudik, biasanya orang yang tinggal di rantau pasti akan berusaha pulang kampung untuk merayakan Galungan di kampung berkumpul dengan sanak keluarga di kampung. Biasanya ada orang yang pulkam H-3 sebelum Galungan, tapi ada juga H-1 baru bisa pulkam karena kesibukan ditempat kerja bahkan ada juga yang tidak bisa pulang kampung karena tidak mendapat libur saat Galungan, biasanya orang yang bekerja dibidang pariwisata sering mengalami hal ini karena rekan kerja sesama Hindu jadi harus gantian liburnya.
Selanjutnya kita akan bahas mengenai rangkaian hari raya Galungan ini yang terdiri dari beberapa rahinan sebagai penanda akan datang atau sudah dekatnya hari Galungan.

Tumpek Wariga yang jatuh pada hari Sabtu (Saniscara) wuku Wariga, biasanya juga disebut dengan Tumpek Bubuh, Tumpek Pengatag atau Tumpek Pengarah, Tumpek ini mengingatkan pada kita kalau Galungan sudah dekat yaitu tinggal 25 hari lagi. Pada hari Tumpek Wariga Ista Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara atau Dewa kemakmuran dan keselamatan tumbuh-tumbuhan. Pada saat Tumpek Wariga ini umat Hindu akan menghaturkan banten atau sesaji berupa bubuh sumsum yang berwarna, putih untuk umbi-umbian, warna bang (merah) untuk jenis rumput, warna gadang untuk pohon yang besar atau menghasilkan buah dan bercabang serta warna kuning untuk tumbuhan vegetatif.

Pada saat Tumpek Wariga ini beberapa pohon yang ada dikebun atau tegal akan disirati Tirta wangsuhpada atau air suci yang dimohonkan disebuah Pura/Merajan dan diberi Bantem berupa bubuh disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat. Setelah selesai kemudian batang pohon akan diketok-ketok dan dielus-elus sambil berucap sendiri dengan maksud berbicara dengan Pohon tersebut dengan ucapan, "Dadong-dadong I Pekak nak kije? I Pekaknye gelem, I Pekak gelem ape Dong? I Pekak gelem Nged, Nged, Nged, Nged." Monolog tersebut bermakna bahwa harapan pemilik pohon agar nantinya pohon yang diupacarai dapat segera berbuah atau menghasilkan sehingga dapat digunakan pada perayaan hari raya Galungan. Peringatan ini merupakan wujud cinta kasih manusia kepada tumbuh-tumbuhan.

Sugihan Jawa, dirayakan setiap hari Kamis Wage wuku Sungsang, terdiri dari dua kata yaitu Sugi artinya bersih dan Jawa berasal dari kata Jaba yang artinya luar. Secara singkat pengertian Sugihan Jawa adalah hari sebagai pembersihan atau penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri Manusia (pembersihan Buana Agung). Pada hari ini umat Hindu mengadakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon. Upacara Ngerbon atau Ngerebuan ini bertujuan untuk Nyomia atau menetralisir segala sesuatu yanb negatif yang berada pada Buana Agung yang disimbolkan dengan pembersihan Merajan dan rumah. Ngerebon pada lingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya hingga Pura Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa hanya menghaturkan banten semampunya. Biasanya untuk wilayah Pura akan memepersembahkan Babi Guling untuk haturan dan setelah selesai dihaturkan maka dagibgnya akan dibagikan kepada masyarakat sekitar.

Sugihan Bali, dirayakan setiap hari Jumat Kliwon wuku Sungsang. Sugihan Bali merupakan kebalikan dari Sugihan Jawa. Sugihan Bali memiliki makna penyucian atau pembersihan diri sendiri (Buana Alit). Kata Bali disini berarti Wali atau dalam artinya membersihkan diri sendiri. Tata cara pelaksanaan Sugihan Bali adalah dengam cara mandi, melakukan pembersihan secara fisik dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa dan raga untuk menyambut hari raya Galungan yang sudah semakin dekat.

Hari Penyekeban, dilaksanakan setiap hari Minggu Pahing wuku Dungulan. Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk Nyekeb Indriya yang berarti mengekang diri dan hawa nafsu agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh Agama. Pada kenyataanya banyak yang berangapan bahwa hari ini hari untuk Nyekeb dalam artian proses mematangkan pisang secara manual atau buah-buahan yang dipakai nanti saat Galungan.

Hari Penyajaan, dilaksanakan setiap hari Senin Pon wuku Dungulan. Penyajaan berasal dari kata Saja bahasa Bali yang artinya Benar atau Serius. Jadi Hari Penyajan ini memiliki makna filosofis untuk memantapkan diri saat menyambut dan merayakan Hari Raya Galungan. Menurut kepercayaan pada hari ini umat Hindu akan digoda oleh Butha Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju perayaan Galungan yang tinggal dua hari lagi.

Hari Penampahan, yang dilaksanakan pada hari Selasa Wage wuku Dungulan atau sehari sebelum Galungan tiba. Pada hari ini identik dengan Nampah atau menyembelih babi untuk dipakai dagingnya sebagai pelengkap sarana upacara saat perayaan Galungan. Selain itu menyembelih babi saat Penampahan memiliki makna simbolis yaitu membunuh semua nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Kepercayaan umat Hindu Bali pada umumnya saat Penampahan ini para Leluhur akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia, karena itulah masyarakat Bali setelah selesai memasak akan membuat suguhan atau sesaji khusus yang terdiri dari Nasi, lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, lekesan (sirih dan pinang) dan rokok yang ditujukan kepada Leluhur yang menyinggahi mereka di rumah masing-masing. Selain menyembelih babi, biasanya hari ini juga akan disibukkan dengan pembuatan Penjor sebagai ungkapan rasa syukur kehadapan Tuhan yang maha Esa atas segala anugerahnya yang diterima selama ini. Penjor ini dibuat dari batang bambu yang ujungnya melengkung dihiasi dengan daun aren yang masih muda (Ambu) kemudian juga diisi buah dan jajanan.

Hari Galungan, dirayakan pada hari Rabu atau Buda Pon wuku Dungulan, sejak pagi hari umat Hindu sudah mulai sibuk, terutama kaum perempuan atau Ibu-ibu, dimuali persembahyangan atau mebanten di areal rumah kemudian ke sanggah yang lebih besar atau Dadia. Kemudian ada juga yang melanjutkan mebanten ke pura yang ada dekat dengan rumah tinggal, terutama para remaja pasti akan sembahyang bersama teman-temannya misalnya ke Pura Jagatnatha.

Bagi umat Hindu yang memiliki anggota keluarga yang masih berstatus mekingsan di pertiwinatau mependem/dikubur, maka umat tersebut wajib membawakan banten ke kuburan dengan istilah memujung ke setra. Banten yang dibawa adalah berupa pujung, kain tigasan/salinan dan air kumkuman.

Selain itu ada juga tradisi dimana jika ada kelurga yang punya bayi dan sudah tiga bulanan nah pada saat pertama kali bertemu Galungan setelah tiga bulanan itu maka bayi itu akan mendapat jotan dari warga sekitar tempat tinggalnya.

Setelah semua selesai maka acara dilanjutkan dengan kumpul keluarga biasanya menikmati lungsuran yang ada sambil ngobrol, acara ini terserah kamu lah mau bikin apa.

Hari Umanis Galungan, atau sering juga disebut Manis Galungan yang identik dengan rekreasi atau melali paling tidak saling mengunjungi sanak keluarga atau seperti silaturahmi. Hari ini biasanya yang paling dominan kelihatan adalah remaja, dimana banyak yang memanfaatkan hari ini untuk rekreasi bersama pacar atau kumpul bersama teman-teman ditempat rekreasi. Selain itu hari Manis Galungan juga dipakai oleh Anak-anak untuk Ngelawang yaitu tradisi yang dilakukan oleh Anak-anak untuk menarikan Barong Bangkung disertai gamelan sederhana dari pintu ke pintu rumah penduduk. Biasanya yang punya rumah akan keluar membawa canang yang berisi sesari. Ngelawang ini bertujuan untuk mengusir aura negatif dan mendatangkan aura positif. Tidak semua daerah di Bali ada tradisi ngelawang ini.

Hari Pemaridan Guru, dilaksanakan pada hari Sabtu Pon wuku Dungulan, kata pemaridan Guru berasal dari dua kata yaitu Marid yang artinya memarid, ngelungsur/nyurud (memohon) dan Guru artinya Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi Hari Pemaridan Guru ini artinya bahwa hari ini adalah hari untuk nyurud atau ngelungsur waranugraha Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru.

Ulihan, dilaksanakan pada hari Minggu Wage, wuku Kuningan. Dalam hal ini ulihan artinya pulang atau kembali. Dalam konteks ini pulang atau kembali disini maksudnya adalah hari kembalinya  para Dewa Dewi atau Leluhur ke Kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugerah panjang umur.

Hari Pemacekan Agung, dilaksanakan pada hari Senin Kliwon wuku Kujningan. Kata Pemacekan berasal dari kata Tekek yang artinya tekek (Bahasa Bali) atau tegar. Makna Pemacekan Agung ini adalah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan Galungan. Di daerah tertentu di Bali hari ini dianggap hari yang tenget.

Hari Kuningan, dirayakan pada hari Sabtu, wuku Kuningan atau 10 hari setelah Galungan. Pada hari Kuningan ini dirayakan dengan memasang tamiang kolem dan endong. Tamiang adalah simbol senjata Dewa Wisnu karena menyerupai Cakra. Kolem, bukan Golem ya jangan sampai ke bawa COC, Kolem ini simbul senjata Dewa Mahadewa sedangkan Endong adalah simbol kantong untuk tempat perbekalan yang dipakai para Dewata dan Leluhur saat berperang melawan Adharma. Tamiang dan Kolem dipasang pada setiap pelinggih, Bale dan Pelangkiran sedangkan Endong hanya  dipasang pada pelinggih dan pelangkiran.

Sarana yang dipakai pada saat hari Kuningan lebih banyak berwarna kuning, warna kuning itu bermakna  kebahagiaan, keberhasilan dan kesejahteraan. Satu lagi yang unik saat Kuningan adalah semua upacara harus dilakukan sebelum jam 12 siang (tengai tepet) karena persembahan atau persembahyangan setelah jam 12 siang hanya akan diterima oleh Butha dan Kala karena para Dewata semua sudah kembali ke Kahyangan.

Hari Pegat Wakan, dilaksanakan pada hari Rabu Kliwon, wuku Pahang atau sebulan setelah Galungan. Hari ini merupakan runtutan terakhir dari perayaan Galungan dan Kuningan. Hari itu dilaksanakan dengan cara melakukan persembahyangan dan mencabut penjor yang pasang di depan rumah bagian kanan. Penjor tersebut kemudian di bakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah. Nah dengan demikian semua runtutan hari raya Galungan dan Kuningan sudah selesai dan menunggh lagi Galungan yang akan datang.

Nah itulah sejarah, makna dan runtutan hari raya Galungan dan Kuningan, semoga bermanfaat. Om Santhi, Santhi, Santhi Om.
Kriana
Kriana Saya hanya orang yang menyempatkan diri untuk menulis tentang apa saja ketika saya sempat menulis, untuk diri sendiri maupun informasi untuk orang lain

Posting Komentar untuk "Hari Raya Galungan dan Kuningan"